Papua1.com – Suku Asli di area PT Freeport Indonesia, terutama masyarakat Amungme dan Kamoro suku-suku kekerabatan lainnya, hidup di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Namun, kekayaan ini menyimpan ancaman jika tidak dikelola dengan bijak. Sejarah dunia mencatat tragedi Nauru, negara kecil yang dulunya makmur karena tambang, kini porak-poranda setelah semua habis. Apakah hal yang sama akan terjadi di tanah Papua?
Suku Asli di area PT Freeport Indonesia, terutama masyarakat suku Amungme dan Kamoro, telah mendiami wilayah pegunungan dan pesisir selatan Papua selama berabad-abad. Mereka hidup selaras dengan alam, menghormati gunung sebagai ibu, dan sungai sebagai sumber kehidupan yang suci. Namun sejak ditemukannya kandungan emas, tembaga, dan mineral lainnya di tanah mereka, keseimbangan itu mulai terganggu. Masuknya perusahaan tambang raksasa seperti PT Freeport Indonesia membawa perubahan besar dalam lanskap ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal.
Bagi sebagian orang, kehadiran tambang dianggap sebagai berkah: membuka lapangan kerja, membangun infrastruktur, dan mengalirkan uang ke daerah yang sebelumnya sulit diakses. Namun bagi Suku Asli di area PT Freeport Indonesia, semua itu memiliki harga yang mahal—harga yang seringkali tidak dibayar dengan adil. Dalam banyak kasus, mereka hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Lahan adat yang diwariskan leluhur berubah menjadi kawasan industri. Hutan ditebang, sungai tercemar limbah tambang, dan gunung-gunung suci diledakkan demi menggali isi perut bumi.
Baca juga : Raja Ampat di Ujung Tanduk: Ancaman Nyata dari Eksplorasi Nikel
Kekayaan yang melimpah itu seharusnya menjadi modal besar untuk masa depan penduduk asli. Tapi dalam kenyataannya, sebagian besar hasil tambang justru mengalir ke luar negeri atau ke pusat kekuasaan. Masyarakat lokal mendapatkan bagian yang sangat kecil—baik dalam bentuk ekonomi maupun pembangunan manusia. Padahal merekalah pemilik sah tanah tersebut menurut hukum adat dan sejarah panjang kebudayaan mereka.
Pengalaman seperti ini bukan hanya terjadi di Papua. Dunia telah mencatat banyak kasus serupa. Salah satunya adalah Nauru, sebuah negara kecil di Samudera Pasifik yang memiliki nasib mirip, bahkan lebih tragis. Pada abad ke-20, Nauru menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia karena ekspor fosfat, yang diambil secara besar-besaran oleh perusahaan asing. Rakyat Nauru sempat menikmati kehidupan yang sangat mewah tanpa harus bekerja keras. Namun, setelah puluhan tahun eksploitasi, fosfat di Nauru habis. Perusahaan tambang pergi, dan yang tersisa hanyalah kerusakan lingkungan yang parah, ekonomi yang lumpuh, dan masyarakat yang kehilangan arah hidup.
Kini, Nauru dikenal bukan sebagai negara kaya, melainkan sebagai simbol kegagalan pengelolaan sumber daya alam. Warga negara itu kini menghadapi pengangguran tinggi, ketergantungan pada bantuan luar negeri, dan tanah yang tidak lagi subur untuk bercocok tanam. Apa yang dulu menjadi berkah, kini menjadi kutukan. Pertanyaan penting pun muncul: Apakah tragedi Nauru akan terulang di Papua?
Pertanyaan ini sangat relevan untuk dijawab hari ini—bukan besok. Karena setiap hari, tanah Papua terus digali. Sumber daya terus diambil, dan belum ada jaminan masa depan yang jelas bagi generasi mendatang Suku Asli di area PT Freeport Indonesia. Jika masyarakat tidak belajar dari kisah Nauru, maka mereka berisiko mewariskan tanah gersang dan kemiskinan struktural kepada anak cucu mereka. Apakah kita akan membiarkan sejarah menyakiti dua kali?
Oleh karena itu, penting bagi Suku Asli di area PT Freeport Indonesia, termasuk seluruh masyarakat Papua, untuk bangkit dan mulai berpikir jauh ke depan. Kekayaan alam yang dimiliki bukanlah kekal. Namun identitas, budaya, dan tanah adat harus dijaga sebagai warisan paling berharga. Jangan sampai ketika tambang telah habis, kita baru sadar bahwa yang tersisa hanyalah luka dan penyesalan.
Sejarah Singkat Nauru dan Peringatan yang Lupa Dikenang
Nauru adalah sebuah negara kecil di Samudera Pasifik yang pernah mencatat sejarah sebagai salah satu negara terkaya di dunia per kapita. Kekayaan ini berasal dari fosfat, mineral alami yang sangat dibutuhkan untuk pupuk dan industri. Selama puluhan tahun, perusahaan asing menggali dan mengekspor fosfat dari hampir seluruh wilayah pulau itu. Rakyat Nauru pun menikmati kehidupan mewah—mereka memiliki mobil mahal, rumah besar, bahkan beberapa tak perlu bekerja karena uang mengalir dengan mudah.