Papua1.com – Jayapura, Sejumlah masa pendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua nomor urut 1, Benhur Tomi Mano–Constant Karma (BTM-CK), mengalami penghadangan oleh aparat kepolisian saat hendak menyampaikan aspirasi didepan Bandara Sentani Kabupaten Jayapura Papua, kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Selasa pagi (12/8/2025)
Dari Pengamatan Awak Media yang berada di Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura. Kedatangan Masa pendukung Paslon Urut No.1 ke bandara bertujuan untuk menjumpai Mendagri yang dijadwalkan tiba di Papua hari ini, guna mempertanyakan tindak lanjut dari aksi demonstrasi yang digelar sehari sebelumnya di Kantor Gubernur Papua.
Baca juga : Demo Damai Pendukung Paslon Gubernur Nomor Urut 1
Aksi demo damai ini, dikoordinir oleh Yulianus Dwaa dan Panji Agung bersama sejumlah relawan pendukung Paslon No.Urut.1 BTM-CK. Dalam aksi demo damai ini, sejumlah massa menyuarakan penolakan terhadap dugaan keterlibatan Penjabat Gubernur Papua, “Agus Fatoni”, dalam proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Papua.
Sehingga kehadiran masa di hari ini untuk menyampaikan aspirasi mereka tersebut,namun itikad baik mereka sempat dihadang dan dibubarkan secara paksa oleh Kapolsek Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3), Bandara Sentani, “Iptu Wajedi” bersama sejumlah aparat kepolisian lainnya.
Akibat pembubaran secara paksa ini, salah satu peserta aksi saudara Panji Agung Mangkunegoro yang juga pernah sebagai salah satu kontributor di salah satu medai di papua sesuai laporan lapangan yang diterima awak media mengalami intimidasi berupa kekerasan fisik.
Marshel Morin
Menanggapi insiden ini, Juru Bicara BTM-CK, Paslon Gubernur Papua No. Urut.1, “Marshel Morin”, mengecam keras tindakan penegakan aturan aparat yang membubarkan aksi damai yang menurutnya berlangsung secara spontan dan tertib.

“Aksi ini menurut Marhal Morin sebagai salah satu bentuk aspirasi masyarakat Papua yang ingin bertemu langsung dengan Mendagri untuk menyampaikan keresahan terkait situasi politik dan demokrasi di Papua. Sayangnya, justru massa mendapatkan perlakuan kekerasan serta intimidasi dari aparat,” ungkap Marshel Morin dalam pernyataan tertulisnya kepada media.
Berbagai Tulisan berupa kritika pedas yang dituangkan dalam pesan utama Spanduk bertuliskan tentang “darurat demokrasi” di Papua serta mendesak agar dugaan pelanggaran yang melibatkan sejumlah pejabat daerah dalam PSU Pilkada segera diusut.
Investigasi Menyeluruh
Lebih lanjut, Marshel Morin meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk segera turun tangan dan melakukan investigasi, menyeluruh terhadap berbagai insiden yang terjadi selama proses PSU berlangsung, termasuk tindakan kekerasan yang dialami massa hari ini.
Kami menuntut keadilan dan perlindungan terhadap hak berdemokrasi masyarakat Papua. Situasi ini sudah sangat memprihatinkan dan menunjukkan gejala darurat demokrasi,” tegas Marshel.
Sampai saat ini, sejauh pengamatan awak media belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian terkait insiden di Bandara Sentani Kabupaten Jayapura ini.
Kekerasan di Papua
Peristiwa di Bandara Sentani, di mana massa pendukung BTM–CK dibubarkan secara paksa saat ingin menyampaikan aspirasi, kembali membuka luka lama tentang bagaimana ruang demokrasi di Papua kerap diwarnai ketegangan. Masyarakat yang datang dengan maksud bertemu Menteri Dalam Negeri untuk menyampaikan keresahan politik justru dihadang, bahkan sebagian mengalami intimidasi dan kekerasan fisik. Peristiwa ini meninggalkan rasa perih, bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi seluruh warga yang mendambakan kebebasan berbicara di tanah kelahirannya.
Di Papua, demonstrasi damai sering menjadi salah satu saluran terakhir masyarakat untuk didengar, apalagi ketika jalur komunikasi formal terasa tertutup. Sayangnya, respons yang diberikan kerap bersifat represif. Padahal, di atas kertas, negara menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat. Ketika warga yang datang dengan spanduk dan suara hati dihadapkan pada tameng aparat, rasa percaya publik terhadap pemerintah mudah terkikis. Kepercayaan yang rapuh ini adalah bara kecil yang, jika tidak dijaga, bisa menyulut api yang lebih besar.
Kekerasan fisik terhadap peserta aksi, seperti yang dialami Panji Agung Mangkunegoro, seharusnya menjadi sinyal bagi semua pihak bahwa pendekatan keamanan yang mengedepankan kekuatan fisik tidak menyelesaikan masalah. Justru, ia meninggalkan trauma dan memperlebar jarak antara rakyat dan negara. Aparat keamanan mestinya menjadi penjaga yang melindungi, bukan tembok yang menutup jalan aspirasi. Masyarakat Papua ingin didengar, bukan dibungkam.
Dampak dari insiden ini jauh melampaui luka di tubuh atau robeknya spanduk. Ia dapat mempengaruhi stabilitas sosial dan politik menjelang PSU Pilkada Papua. Kekerasan terhadap massa damai akan mudah menyebar melalui media sosial, menjadi sorotan media nasional bahkan internasional. Narasi “darurat demokrasi” akan semakin menguat, dan itu bisa mencoreng citra pemerintah, yang sejatinya ingin membangun Papua dengan damai dan setara.
Kini, yang paling dibutuhkan adalah keberanian semua pihak untuk memilih jalan dialog. Kompolnas dan lembaga independen perlu segera turun tangan menyelidiki peristiwa ini secara tuntas. Lebih dari itu, perlu ada komitmen moral dari aparat dan pejabat untuk menghormati aspirasi rakyat, meski berbeda pandangan. Papua membutuhkan telinga yang mau mendengar, hati yang mau mengerti, dan tangan yang mau merangkul—bukan menepis. Karena hanya dengan itulah, luka akibat kekerasan bisa benar-benar sembuh.
Pewarta: Vicky Ririhena